Kesaksian Buruh dan Potret Buram Industri Nikel di Morowali

Daerah, Sulteng206 Dilihat
iklan

MOROWALI.PIJARSULTENG.COM,- INDUSTRI nikel mendapat citra positif sebagai tulang punggung ekspor nasional. Mantra hilirisasi terus dibunyikan sebagai penggerak ekonomi. Namun, di balik gemerlapnya angka ekspor, ada sisi kelam yang jarang disorot. Keselamatan buruh jadi taruhan.

Daging lengan terkelupas. Jari yang putus. Fasilitas kerja minim. Alat pelindung diri kurang. Serangan seksual buruh perempuan, meninggalkan trauma. Hingga ledakan tungku yang merenggut nyawa. Nikel penyokong kemajuan. Tapi buruhnya terpinggirkan. Mereka terjebak dalam risiko yang terpaksa mereka hadapi.

PENUNJUK waktu digital di smartphone berkelir hitam, baru menunjukkan pukul 04.55 wita. Semesta yang masih dilingkupi gelap mulai tersamar bias fajar yang sebentar lagi membelah bumi. Dari kejauhan suara lantang tahrim masjid menggema membela angkasa. Membangunkan orang-orang yang masih terlelap dalam tidurnya.

Nurhasanah seorang ibu muda, sejak 10 menit yang lalu sudah sibuk di dapur. Menjerang air. Menanak nasi. Menyeduh kopi. Menyiapkan sarapan. Untuk dia dan suaminya. Usai sarapan, ia bergegas menuju motor tunggangan menuju lokasi kerjanya di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) yang berjarak 45 menit dalam perjalanan normal.

Ia masuk kerja pukul 07.00 wita, perjalanan yang sering terkendala macet, membuat perempuan kelahiran Desa Pandauke 34 tahun silam ini dia harus secepatnya tiba di sana. ‘’Jam setengah enam prepare jam 7 mulai kerja. Kalo lambat kena teguran,’’ katanya pada perbincangan di kediamannya di Desa Lalampu Kecamatan Bahodopi – Morowali, belum lama ini.

Nurhasanah bekerja PT Chengtok Lithium Indonesia (CTLI). Ia terdaftar sebagai karyawan di sana, sejak 2023 hingga 12 November 2024. Selama setahun bekerja di perusahaan yang mengolah bahan baku penting untuk baterai kendaraan listrik, situasinya tidak menentu. Ia rekrutan kedua bulan November 2023, langsung ditempatkan sebagai kru lapangan. Dikatakan, penempatannya di sana hanya sementara. Selanjutnya akan ditempatkan di ruang kontrol.

Selama menjadi kru lapangan, pekerjaannya menyekop batubara dan mengangkat scaffolding yang dilakukannya setiap hari selama 7 bulan. Selama bekerja, hanya menggunakan masker biasa bukan masker respirator. Dengan risiko kerja yang dihadapinya menurut dia, mestinya menggunakan masker yang bisa memberi perlindungan pernafasan. ‘’Itupun masker biasa. Kami hanya dapat 5 picis setiap bulan. Sudah tidak sesuai spek, jumlahnya juga tidak cukup,’’ ujarnya.

Masalah lain yang dihadapinya adalah alat pelindung diri (APD) yang tidak layak. Selama setahun di sana, hanya sekali mendapat APD, satu pasang pakaian kerja. Alhasil walaupun sobek tetap harus dipakai, karena itulah satu-satunya yang ada. Ia juga harus berhadap-hadapan dengan managemen perusahaan untuk memperjuangkan cuti haid. ‘’Di bagian kru lapangan perempuan bukan hanya saya. Kami tiga orang. Saya memperjuangkan cuti haid. Alhamdulilah diterima,’’ katanya ditemui di kediamannya belum lama ini.

Posisinya sebagai Ketua Serikat Pekerja Nasional (SPN) di PT CTLI, menuntut dirinya gencar melakukan advokasi kawan-kawannya. Advokasi yang dilakukannya, ternyata tidak disukai oleh atasannya di PT CTLI. Mulai saat itu ia merasa mengalami diskriminasi. Ia dipindah jam kerja malam. Masuk kerja jam 23.00 hingga 06.00.

Saat kepulangan dari pabrik menuju parkir kendaraan yang ditempuh 10 menit, ia hanya boleh jalan kaki. Tidak boleh naik bis seperti rekannya yang lain. Beberapa waktu kemudian ia dipindah lagi di bagian kru lapangan. Setelah sempat beberapa waktu di ruang kontrol.

Ia mempertanyakan pemindahan itu. ‘’Kalau tidak terima dengan pemindahan itu, berhenti kerja saja,’’ ujar Nurhasanah, menirukan hardikan juru bicara kepadanya. Diskriminasi lainnya yang diterimanya adalah, saat bekerja di bagian pengepresan. Mesin press tak hanya berat tetapi juga besar. Untuk mengoperasikannya perlu dua orang yang berdiri di kedua ujungnya. ‘’Saya disuruh sendiri saja, tidak boleh ada orang lain,’’ kesalnya.

Mendapat diskriminasi, ia mengaku ingin bertahan. Motivasinya ingin memperjuangkan hak-hak buruh perempuan. Tapi suaminya menyuruh berhenti. Dengan mempertimbangkan kesehatan dan keselamatan. ‘’Motor saya lampunya dipecahkan, sadelnya disayat. Pas ada kejadian itu, suami so minta saya brenti kerja,’’ ucapnya. Padahal, teman-temannya sesama buruh perempuan melarang. Selama ini hanya dirinya yang memperjuangkan nasib mereka.

Nurhasanah Abdul Hafid, bekerja keras di pabrik nikel. Ia terjepit di antara harapan untuk keluarga dan diskriminasi yang menguntitnya. Nurhasanah mengakui, bukan hanya keringat yang menetes. Tetapi juga ketidakadilan yang menghalangi haknya untuk dihargai sebagai pekerja.

Pengakuan lain datang dari Michael J Ronuntu. Ia adalah karyawan di PT Ranger Nickel Industry (RNI). Bekerja di bagian furnace sejak 2018 hingga sekarang. Selama 6 tahun bekerja di depan tungku dengan panas di atas 1.000 derajat, hanya menggunakan APD berbahan kain. Bukan tahan api atau setidaknya bahan yang tidak mudah terbakar. ‘’Setahu saya kalau yang sesuai spek, harus yang mirip astronaut yang dibungkus seperti aluminium foil, anti api,’’ ujarnya merinci.

Bapak empat anak ini mengaku, saat terjadi pandemi SARS COV-2 mereka bekerja 3 shift untuk 4 regu. Dengan 4 shift masing-masing regu bekerja 8 jam. Maka akan ada 1 regu yang jeda istrahat. Pascacovid sistem ini dikurangi menjadi 3 shift untuk 3 regu. ‘’Ini yang saya sebut sebagai shift yang membunuh. Karena kita nyaris tidak ada waktu untuk jeda,’’ jelasnya.

Pengurangan terjadi, karena saat itu ada kebijakan tidak ada perekrutan semasa pandemi SARS COV-2. Pada saat bersamaan perusahaan asal Taiwan PT Walshint Nickel Industry (WNI yang sudah berproduksi kekurangan karyawan. Karyawan di PT RNI inilah yang dikirim ke PT WNI.

Ketika pergantian shift, terjadi penambahan kerja dan itu menguras tenaga. Ada penambahan dari 8 jam menjadi 12 jam kerja. Pasalnya, shift pengganti yang masuk pagi harus diberi istrahat panjang untuk persiapan masuk pagi besoknya. Jam kerja yang sudah mepet diperpanjang lagi dengan iming-iming dihitung kerja lembur. ‘’Terus terang kerja 12 jam ini di luar kemampuan,’’ protesnya.

Unit kerja di furnace, risikonya sangat tinggi. Kerja di dekat suhu di atas rata-rata. ‘’Kami bekerja 8 jam dengan suhu panas debu, dan asap tapi APD seadanya,’’ tekannya dengan nada tinggi. Perusahaan menjanjikan jika pandemi covid-19 normal kembali, maka akan dikembalikan pada jam kerja seperti sebelumnya. Namun sampai hari ini, janji itu tak kunjung dipenuhi.

Masih menurut Michael, selain fasilitas dan keselamatan kerja, perusahaan cenderung mengekang hak berserikat.. ‘’Melarang secara langsung memang tidak pernah. Tapi larangan dalam bentuk lain sangat terasa,’’ katanya. Misalnya, jika ketahuan ikut serikat buruh diancam dimutasikan. Didemosi atau dipersulit bahkan ada yang diintimidasi.

Michael yang tergabung dalam Serikat Pekerja Industri Morowali (SPIM), mengaku kerap menyampaikan masalah buruh ke atasannya. Namun aspirasi mereka tidak pernah disahuti. Nyaris setiap hari selalu ada problem buruh yang disampaikan. Mulai dari PHK, sanksi yang tidak masuk akal. Misalnya duduk menunduk dibilang tidur. Itu bisa berbuah sanksi. ‘’Ini sanksi akal-akalan untuk menghalangi orang yang ketahuan berserikat,’’ pungkas ayah empat anak ini.

Di depan tungku smelter yang menyala, Michael berdiri setiap hari. Keringat bercucuran. Tanpa perlindungan yang layak. Dengan tubuhnya sendiri menahan panas. Itu dilakukan tak hanya demi nafkah keluarga. Tapi demi devisa. Demi negara yang tak peduli pada orang-orang seperti dirinya.

BURUH PEREMPUAN MENGALAMI SERANGAN SEKSUAL

Perlakuan buruk terhadap buruh adalah cermin ketidakadilan yang merendahkan martabat pekerja. Sekaligus menciptakan lingkungan kerja yang tidak manusiawi. Yunita Hartina, buruh perempuan yang bekerja di kantin WNA China di perusahaan PT DSI mengaku kerap mengalami serangan seksual.

Bentuk serangan yang dialaminya, mulai meremas payudara, memukul bokong hingga sengaja menyenggol bagian tubuh tertentu. Buruh perempuan yang lain, juga kerap mengalami serangan serupa. ‘’Ini yang tindakan fisik. Belum yang nonverbal. Disiul-siul atau memperlihatkan gesture yang tidak pantas,’’ ungkap Yunita yang ditemui di kediamannya.

Ia menambahkan, hingga kini masih shock mengalami peristiwa tersebut. ‘’Tiba-tiba ada orang muncul langsung memegang payudara, kita jadi trauma,’’ katanya. Peristiwa itu bahkan terus terulang. Selalu dilaporkan. Tapi tidak ada tindakan sanksi. ‘’Biasanya kita laporkan ke atasan. Pelakunya dipanggil. Hanya diperingati.

Setelah itu, tidak ada tindakan apa-apa,’’ ujar ibu empat anak ini. Akibatnya, serangan seksual terus saja terulang karena tidak ada efek jera. Peristiwa-peristiwa tersebut menurut dia, selalu menghantuinya hingga kini.

Soal cuti haid juga sempat bermasalah. Pernah, dua rekannya mengurus cuti. Hanya satu orang yang diizinkan. Pengalaman lain, para pemegang cuti hamil gajinya dipotong sebesar Rp400 ribu untuk izin cuti dua hari. Hak-hak buruh perempuan ini yang diperjuangkannya. Hingga akhirnya managemen melunak.

Namun ia menambahkan, saat ini banyak buruh perempuan yang memilih tidak mengambil cuti haid. ‘’Mereka merasa dipersulit. Ngurus izin cuti kan ribet. Harus ke klinik sementara pelayanan mencapai ribuan orang per hari,’’ katanya.

Pengalaman lain yang dialami buruh perempuan adalah, minimnya atau nyaris tidak ada bus menjemput dari titik parkir ke lokasi pabrik. Jaraknya sekitar 15 – 20 menit perjalanan. Bagi buruh perempuan kondisi ini sangat rawan terhadap keselamatannya. Sudah ada buruh perempuan yang disergap lalu payudaranya diremas kuat. ‘’Mau berteriak tidak ada yang dengar, malah pelakunya balik beringas,’’ ungkap Yunita.

Hingga hari ini, pelaku tersebut tidak diketahui identitasnya. Pelaku juga masih kerap menebar teror pada buruh perempuan tanpa sedikitpun upaya dari perusahaan untuk mencegahnya. ‘’Sudah dilapor, tapi bagaimana memprosesnya, pelakunya misterius,’’ tanyanya.

Para perempuan buruh itu menjadi saksi bisu kekejian yang merenggut martabat mereka. Namun, alih-alih mendapatkan keadilan. Suaranya terbenam dalam kakunya tembok perusahaan. Seolah luka yang ia bawa, hanyalah bayangan yang tak layak diperjuangkan.

Pengakuan Anas Husni (21) yang bekerja di PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS) di Bahodopi, mengonfirmasi tentang buruknya managemen buruh di perusahaan asal China itu. Ditemui di kediamannya di Desa Fatufia belum lama ini, ia membeberkan pengalaman pahit yang dialaminya.

Pria asal Pinrang – Sulsel itu, mengaku menyelam di penampungan air limbah dengan hanya menggunakan kaos dan celana pendek. Itu dilakukannya tanpa pelindung diri. Air itu umumnya berasal dari kamar mandi, WC, cucian piring. Ditampung diolah lagi. Untuk menjadi pendingin di bagian produksi. Saat hujan, pipa akan tertutup oleh semak belukar maupun sampah plastik.

Saat itulah, ia mulai melakukan penyelaman membersihkan sumbatan. Husni mengaku sudah mengajukan permintaan APD kepada atasannya. Namun ini belum dipenuhi. Alasannya, APD sangat spesifik. Butuh waktu lama, untuk pemesanannya. ‘’Tapi Ini sudah 7 bulanan. Belum ada juga APD yang dijanjikan,’’ ujar Husni. Selama wawancara, Husni tampak kecewa. Kesal. Bahkan geram.

Di kedalaman limbah yang kotor dan membahayakan, Husni dan kawannya menyelam bergantian tanpa pelindung. Perusahaan hanya memandang mereka sebagai angka. Bukan manusia yang bernapas yang kesehatannya perlu dilindungi. Tanpa pelindung yang layak, tubuh Husni dan kawannya menjadi tameng terakhir. Demi korporasi yang mengabaikan kemanusiaan demi cuan.

KARYAWAN KUPI PROTES, BEBAN KERJA TINGGI UPAH RENDAH

Tak hanya buruh pabrik yang mengeluh dengan situasi kerja di perusahaan pelopor hilirasasi nikel terbesar di Indonesia itu. Kalangan medis juga sudah lama memendam kekesalan. Beban kerja tinggi. Tapi upah rendah. Dua hal yang menjadi keluhan tenaga medis Klinik KUPI di Bahodopi. KUPI adalah akronim dari Klinik Utama Permata Indah. Milik pihak ketiga yang melayani sedikitnya 86.000 karyawan di PT IMIP. Jumlah ini belum termasuk warga setempat.

Hidayat salah satu perawat, mengaku banyak hal yang harus dikoreksi dari manajemen KUPI yang mempekerjakan mereka. Soal hari kerja. Hari libur nasional. Dan hari minggu. Di tiga waktu itu, mereka tetap kerja. Tapi tidak dimasukan sebagai lembur.

Fenomena ini menurut dia berlangsung sejak tahun 2015. Tidak berubah hingga kini. Padahal, Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, mengharuskan buruh libur sehari dalam sepekan.

Bekerja di bawah managemen pihak ketiga, diakuinya membuat tuntutan pemenuhan hak-hak dasar bak meniti jalan terjal. Tuntutan perubahan kontrak kerja, tak pernah berhasil. ‘’Kami ketemu dengan Manajemen IMIP. Tapi IMIP bilang itu bukan tanggungjawab mereka,’’ katanya dengan nada tinggi.

Ini karena, yang mengantongi Perjanjian Kerja Bersama (PKB) adalah managemen KUPI dengan IMIP. Mereka tidak bisa mengakses PKB antara IMIP dan Managemen KUPI. ‘’Kami minta. Kami mau lihat seperti apa, tapi tidak pernah diperlihatkan,’’ ujar Hidayat.

Sistem penggajian dinilai absurd. Slip gaji tidak merinci komponen apa saja yang masuk dalam penggajian. ‘’Karyawan hanya disodori slip gaji yang besarnya mulai Rp3,6 – Rp3,9 juta. Namun tidak ada hitungan total take home pay-nya meliputi apa saja,’’ ucapnya.

Karena itu, Hidayat dan kawan-kawannya akan menggelar aksi protes menuntut transparansi dan perubahan kontrak. Paling lambat Januari 2025 dijanjikan akan ada pembaruan kontrak. ‘’Desember ini kita rencanakan demo seluruh karyawan KUPI,’’ ungkap Hidayat. Protes itu untuk mengingatkan, perusahaan yang mengabaikan hak-hak mereka selama beberapa tahun.

Di hadapan petinggi perusahaan yang hanya mementingkan laba, perjuangan Hidayat dan kawan-kawan adalah nyala api yang tak kenal padam. Mereka melawan ketidakadilan atas kerja yang tak dihargai.

KONFRONTASI BURUH VS PERAWAT

Buruknya manajemen di KUPI menurut Hidayat tergambar dari seringnya konfrontasi antara perawat dan buruh yang berobat. Ada perawat yang dipukul. Ada meja yang didobrak. Hingga bentuk kekerasan lainnya. Penyebabnya protes buruh yang tidak puas dengan pelayanan. Pada awal atau akhir bulan, pelayanan selalu dibatasi

Cukup 180 hingga 200 pasien per hari. Sementara, antrean mencapai 500 orang lebih. Belum termasuk warga non karyawan. ‘’Buruh yang tidak mendapat pelayanan, marah, dobrak meja, sampai memukul perawat,’’ ungkap pria asal Poso Pesisir – Kabupaten Poso ini.

Pengalaman perawat bernama Melklesius Lelengaya lain lagi. Ia tidak mendapat upah atas perjalanannya mendampingi pasien yang tewas saat meledaknya tungku smelter PT ITSS pada 24 Desember 2023.

Ia mendampingi pasien berobat selama 15 hari di Jakarta dan 3 bulan di Makassar. Selama mendampingi, sering menggunakan uang pribadi. ‘’Saya dimintai rekening. Katanya mau ditransfer uang jalan. Tapi hanya diprank. sampe sekarang tidak ada,’’ kesalnya.

Melklesius pernah beberapa kali ke ruang pimpinan untuk mempertanyakan haknya itu. Terakhir menghadap, ia diancam PHK. ‘’Ya betul. Kawan saya ini sudah ada pemberitahuan PHK, karena minta haknya,’’ timpal Hidayat yang menemaninya wawancara. Hidayat dan Melklesius kini menghimpun diri di Serikat Buruh Militan (Sebumi). Di Sebumi, Hidayat dan kawan-kawan memperjuangkan haknya yang tak kunjung mendapat perhatian.

Di balik seragam putih mereka, Hidayat dan kawan-kawan terus mengabdikan jiwa untuk manusia. Namun mereka dihargai oleh angka yang jauh dari layak. Hak mereka tertahan di tangan perusahaan yang memandang kemanusiaan hanya sebagai hitungan laba.

PRODUKSI NOMOR 1, KESELAMATAN NOMOR 2

Ketua Serikat Pekerja Nasional (SPN) Morowali, Yogi ditemui di Sekretariat SPN Morowali di Desa Fatufia Kecamatan Bahodopi. Ia menceritakan pengalamannya mengadvokasi anggotanya. Mayoritas kasus yang diadvokasi antara lain, upah, APD, keamanan di tempat kerja, PHK hingga intimidasi oleh atasan di perusahaan terkait kawan-kawannya yang berserikat.

Ia pernah mengadvokasi buruh yang menderita rusuk patah pada 2022. Daging lengan terkelupas oleh mesin pada 2021. Maupun kasus-kasus yang terkait dengan kepentingan buruh. Khususnya, terkait tuntutan perbaikan kesehatan dan keselamatan kerja (K3). Sepanjang pengalamannya, advokasi sebagian berhasil. Sebagiannya tidak.

Sejak peristiwa naas di PT ITSS yang menewaskan dan melukai puluhan buruh, menurut Yogi sudah ada perbaikan. Tapi belum signifikan. Masalah K3 sampai saat ini masalah serius yang harus diperhatikan perusahaan. ‘’Pokoknya perusahaan itu, produksi nomor 1, keselamatan nomor 2. Begitu yang kami lihat dan rasakan di sini,’’ ucap Yogi.

Pernyataan Yogi ini dibenarkan oleh koleganya dari asosiasi buruh lain. Anas Husni dan Michael J Ronuntu. Keduanya, dari Serikat Pekerja Industri Morowali (SPIM). Perusahaan menurut keduanya lebih mengejar produksi daripada memprioritaskan keselamatan. Yogi yang memimpin 7.000 anggota, mengeritik sikap pemerintah.

Pemerintah dengan sikapnya yang normativ cenderung merugikan buruh. Bahkan pasif. Sementara, kasus buruh nyaris tiap hari terjadi di setiap perusahaan. ‘’Kenapa tidak melakukan pemeriksaan perusahaan. Atau audit K3, jika pemerintah peduli pada penerapan K3,’’ protesnya.

Baik Yogi, Husni maupun Michael, sepakat ada fenomena pemberangusan hak berserikat (Union Busting). ‘’Itu dilakukan tidak terang-terangan. Tapi buruh yang ketahuan terlibat berserikat dipersulit dan dicari-cari kesalahan. Mereka di mutasi dan demosi,’’ terang Michael.

Menurutnya, para buruh dipandang sebagai pengganggu. Keberanian bergabung dalam serikat, akan cari kesalahannya. Dipersulit pekerjaannya. Seolah perjuangan untuk martabat adalah tindakan paling nista.

Di bawah gemuruh mesin yang tak pernah henti, protes buruh hanya bisikan kecil yang tenggelam oleh hiruk-pikuk produksi. Perusahaan mengejar hasil dari perut bumi. Sementara nyawa buruh dianggap tak lebih dari angka yang mudah tergantikan.

IMIP JAMIN HAK PEKERJA DAN BURUH PEREMPUAN DIPENUHI

Dedy Kurniawan Humas dan Comdev, PT IMIP ditemui di Bahodopi, Jumat 29 November 2024, menjamin, K3 di kawasan industri terus dijalankan sesuai aturan. Pernah terjadi kecelakaan di wilayah IMIP. Namun seiring dengan itu, perbaikan terus dilakukan. Pun sama halnya, perlindungan terhadap buruh perempuan dijalankan dengan baik. Bus khusus perempuan, ruang menyusui, cuti haid dan cuti hamil, semua disediakan IMIP sebagai pengelola kawasan industri. Buruh perempuan yang mengalami serangan seksual, pelakunya akan ditindak. ‘’Jika kasusnya diketahui, atau ada yang melapor akan ditindak,’’ ujarnya menjamin.

Pun demikian dengan APD, seperti helm, masker, sepatu dan seragam kerja, dalam jangka waktu enam selalu didistribusikan kepada karyawan. Setiap unit kerja, APD nya berbeda. Itu semua dipenuhi. Termasuk APD karyawan di furnace. Selain itu, hak karyawan untuk berserikat pun dibolehkan. Perusahaan tidak melarang, karena diatur oleh UU.

‘’Buktinya, izin demo para buruh dikeluarkan. Tidak ada yang dilarang,’’ katanya. Hanya saja, yang diizinkan hanya perwakilan. ‘’Tidak boleh semuanya, nanti siapa yang kerja, kalau semuanya demo,’’ ujar Dedy. Ia memastikan, hak-hak dasar karyawan IMIP tidak ada yang dilanggar. Ia menjamin terkait K3, IMIP selalu taat aturan UU.

Kepala Seksi Pengawasan Norma Kerja UPT Pengawasan Ketenagakerjaan Wilayah II Disnakertrans Sulteng, Benny Yones mengatakan, Nakertrans selalu melakukan pengawasan aturan ketenagakerjaan di perusahaan. Termasuk, di perusahaan di kawasan IMIP. Nakertrans memastikan hak-hak dasar buruh di sana dipenuhi. ‘’Kita fokus awasi pemenuhan hak dasar buruh dan penerapan K3-nya di semua perusahaan,’’ ujar Benny di Palu, Jumat 13 Desember 2024.

Termasuk di kawasan IMIP, hak-hak dasar buruh terpenuhi. ‘’So far kalau mengenai hak dasar, oke. Tidak ada masalah. Sesuai UU hak-hak buruh terpenuhi,’’ ujarnya yakin. Sejak 2020 hingga saat ini, hak-hak di kawasan IMIP berjalan. Di Bahodopi, karyawan yang banyak bermasalah adalah buruh subkontrak yang secara tidak langsung bukan karyawan IMIP.

Pernyataan pejabat Nakertans Sulteng ini, tidak sejalan dengan testimoni sejumlah buruh dan pengurus serikat buruh yang ditemui di Bahodopi belum lama ini. Pengakuan para buruh, pemenuhan hak  dasar mereka masih bermasalah.

Mengutip Mongabay.com, Yayasan Tanah Merdeka (YTM) mencatat, selama 2024 terjadi 18 kali insiden kecelakaan kerja. Insiden yang terus berulang itu, membuat tiga NGO di Palu, YTM, WALHI dan Jatam mendesak audit K3 pada perusahaan nikel di Bumi Tepe Asa Maroso itu.

Di tengah deru industri yang tak pernah berhenti, YTM, WALHI dan Jatam, menjadi suara bagi buruh yang terbungkam oleh ketidakadilan. Keselamatan dan kesehatan kerja bukanlah pilihan. Melainkan hak dasar setiap pekerja. Tiga organisasi ini berdiri di garis depan.

Mendesak audit menyeluruh terhadap industri nikel, agar tidak ada lagi nyawa yang menjadi angka dalam statistik. Keuntungan tidak boleh mengorbankan kemanusiaan. Karena industri bukan hanya tentang profit. Tetapi tentang keberlanjutan hidup dan martabat pekerja.

Penulis: Yardin Hasan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *