PALU. PIJARSULTENG.COM – Merasa Disalimi Uhut Hutapea yang juga bekerja dan menjabat sebagai ketua III di Sinode Gereja Protestan Indonesia Donggala (GPID) saatnya menggungat pimpinan lembaga tersebut. Dianggap sudah banyak anturan yang dilanggar sampai mereka yang tidak sepaham pun diposisikan bukan pada tempatnya tidak sesuai lagi dengan aturan organisasi.
Makanya dirinya merasa perlu untuk menggugat agar pelanggaran – pelanggaran yang dilakukan tidak meluas.
Baca juga : Kanwil Kemenkumham Sulteng Lakukan Skrining Kepada WBP Di Sejumlah UPT. Pemasyarakatan di Kota Palu
Hal ini wajar dilakukan sebagai seorang Warga Negera Indeonsia (WNI) untuk melakukan sebuah gugatan ke ranah hukum agar mendapatkan hak-haknya.
Untuk itu Uhut Hutapea, SH, seorang Advokat/Legal Advidsor, beralamat di Jl. Abdul Rahman Saleh III Lorong V No. 13 Kelurahan Birobuli Selatan, Kecamatan Palu Selatan Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) melakukan sebuah gugatan di Pengadilan Negeri (PN) Palu, Senin (16/10/2023).
Baca Juga : HT Lantik Pengurus RPA Perindo, Gencar Advokasi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan
Sidang perdana tersebut dipimpin oleh ketua majelis sidang, Sugianto didampingi Alanes dan Nahar. Sidang yang digelar di ruang persidangan anak kantor PN di bilangan Jalan Samratulangi berjalan lancar
Tujuannya hanya untuk meluruskan hal-hal yang terjadi dalam sebuah lembaga.
“ Saya hanya menginginkan lembaga ini berjalan dengan baik. Dan personel di tingkat kepemimpinan lembaga ini bisa melaksanakan tugasnya dengan baik pula, “ ungkap Uhut.
Uhut layak menggugat, disebabkan sebagai Ketua III dirinya diberhentikan selama tiga bulan berselang oleh pimpinan Sinode di GPID. Tanpa melakukan pembinaan sesuai tahapan, misalnya prosedur digembalakan, diteliti, dinasehati dan ditegur, ini tidak dilakukan oleh pimpinan Sinode.
Tetapi yang muncul adalah tindakan kesewenang-wenangan, dengan memberikan sanksi. Padahal ada dana bantuan untuk penangulangan wabah Covid-19 saat itu menjadi sorotan pengurus, karena tidak transparan, sehingga dirinya diberi sanksi.
“ Perlakukan seperti ini harus dijelaskan. mengapa dana bantuan itu tidak disebutkan. Ini akan jadi masalah dari funding kami di Jerman. Ini tidak bisa dibiarkan, “ tegas Uhut. Itulah dirinya berani melakukan gugatan di PN Palu.
Sementara salah satu penatua dari GPID Kota Palu, Jefry Komalig, menuturkan kehadiran dia di pengadilan sebagai bentuk keprihatinan yang mendalam terhadap munculnya kasus ini.
“ Ini menjadi kecemasan. Dalam situasi ini kita bisa membaca isi gugatan yang disampaikan oleh pak Uhut Hutapea. Pertama adalah penyalahgunaan wewenang. Kedua, kami datang kesini dalam rangka menyelamatkan institusi GPID itu sendiri. Harus kita selamatkan bersama, setidaknya dijauhkan dari hal-hal yang berupa penyimpangan. Jadi ini dalam bentuk kepedulian untuk menyelamatkan GPID, “ tegas Jefri.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Pendeta I Gede Mandia, dari GPID Desa Maku Kabupaten Sigi.
” Saya hadir di pengadilan ini.karena berdasarkan kepedulian. Banyak hal bagaimana GPID ini mengawal moral dan ketaatan, karena pak Uhut ini adalah jemaat saya. Wajarlah saya datang di sini. Kehadirsan saya di PN tidak lain untuk mengawal lembaga GPID apa benar gugatan itu atau tidak. Di pengadilan inilah kita buktikan itu semua, “jelas I Gede Mandia.
Adapun kronologis gugatan yang dilayangkan Uhut Hutapea tersebut, secara gentle menggugat pimpinan Sinode/Majelis Sinode GPID yang berada dibilangan jalan beralamat, Jl. Kijang Raya No. 14 Kelurahan Birobuli Utara Kecamatan Palu Selatan Kota Palu Provinsi Sulteng
Pertama, bahwa GPID adalah Gereja bagian mandiri dari Gereja Protestan di Indonesia (GPI) yang bersifat Keagamaan ber-Azas Pancasila dan Kantor Pusatnya (Kantor Sinode) berkedudukan di Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) yang memiliki wilayah pelayanan di-empat Kabupaten, dan satu Kota, yakni Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, Kabupaten Parigi Moutong dan Kabupaten Poso serta Kota Palu.
Kedua, GPID sebagai Badan Hukum bergerak dalam bidang keagamaan khususnya agama Kristen Protestan, memiliki landasan hukum atau dasar berdirinya adalah sebagai berikut
Staatsblad No. 19 Tanggal 15 Mei 1927 Jo. Surat Pernyataan BaPeAm GPI No. Bap.8/Sek/69.
Surat Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat (Kristen) Protestan Departemen Agama RI Nomor 143 Tahun 1990 yang menyatakan GPID sebagai Lembaga Gerejawi, Surat Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah No. 220/89/691/SOSPOL.I tgl 8 September 1988 tentang Legalitas Organisasi Kemasyarakatan, berdasarkan UU No. 8 Tahun 1985.
Ketiga, GPID memiliki Pimpinan Tertinggi yang disebut Majelis Sinode/Pimpinan Sinode (Tergugat aquo), Tata Gereja (Tata Rumah Tangga BAB I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat (1) dan (3) Peraturan Tentang Sinode).
Keempat, adapun aturan organisasi GPID sebagai Lembaga Gerejawi, berlaku saat ini terdapat dalam Tata Gereja, ditetapkan di Toro, dalam Sidang AM Istimewa Sinode GPID tanggal 19 Juli 2017.
Kelima, sebagaimana disebutkan dalam poin 3 diatas Pimpinan Tertinggi di Sinode GPID adalah Pimpinan Sinode/Majelis Sinode yang bersifat Kolektif, artinya semua keputusan diambil secara Bersama-sama, terdiri dari Ketua Umum, Ketua I, Ketua II dan Ketua III, Sekretaris Umum, Wakil Sekretaris Umum dan Bendahara, 2 (dua) orang dari unsur Pendeta sebagai anggota dan 2 (dua) orang dari unsur Penatua/Diaken sebagai anggota. Kesemuanya berjumlah 11 orang dan kesemua Majelis Sinode ini dipilih dan ditetapkan dalam Sidang Am (Sidang Gerejawi 5 Tahun sekali) Tata Gereja Peraturan Tentang Sinode BAB II Sidang Am Sinode Pasal 2 ayat (6) Tentang Tugas dan wewenang.
Keenam, Penggugat awalnya sebagai Kuasa Hukum dari Sinode GPID (Tahun 2005-2013) dan kemudian dipilih dalam Sidang AM Sinode Tahun 2013 menjadi Anggota Majelis Sinode GPID (Periode Tahun 2013-2018) dan kemudian dipilih lagi dalam Sidang AM Sinode Tahun 2018 sebagai Ketua III Sinode GPID untuk masa Jabatan 2018-2023.
Ketujuh, oleh karena GPID adalah Badan Hukum yang ada di Negara Republik Indonesia, maka segala aturan dan ketentuan yang ada dalam GPID harusnya tidak bertentangan dengan Hukum dan dapat pula diuji kebenaran pelaksanaannya manakala menimbulkan persoalan yang tidak dapat diselesai dalam internal atau organisasi GPID itu sendiri melalui Lembaga hukum yang berlaku di Negara Republik Indonesia ini.
Kedelapan, diajukannya gugatan ini didasari semata-mata adalah untuk melakukan perbaikan dan pembenahan dalam tubuh GPID dikepemimpinannya yang nota bene adalah Lembaga keagamaan/Gerejawi namun dalam penerapan pelaksanaan aturannya oleh Majelis Sinode sangat semena-mena dan jauh dari apa yang disebut hukum Kasih sebagaimana yang diharapkan dalam Tata Gereja sebagai landasan hukum pengaturan organisasi GPID oleh karena itu agar GPID tidak kehilangan marwahnya sebagai Lembaga Kerohanian/gerejawi, maka Penggugat sebagai bagian daripada GPID terpanggil untuk membenahi dan memperbaiki, utamanya dalam kepemimpinan di GPID.
Kesembilan, bertalian dengan apa yang diuraikan pada poin 8 diatas, pada tanggal 5 Juli 2022 Tergugat (Pimpinan Sinode/Majelis Sinode) menjatuhkan sanksi Tertib gerejawi kepada Penggugat dikarenakan adanya pertengkaran dalam rumah tangga yang belum jelas kebenarannya, Adapun sanksi yang dijatuhkan adalah Penggugat Tidak dapat melaksanakan tugas-tugasnya selama 3 bulan dan tidak mendapatkan gaji dan tunjangan terhitung dari tanggal 05 Juli s/d 05 Oktober 2022, yang ditandatangani oleh Pdt. Alexander Zeth Rondonuwu, M.Teol., selaku Ketua Umum dan Pdt. Gusti Bagus Ngurah Anderonikus, M.Th., selaku Sekretaris Umum, namun Surat penjatuhan sanksi tidak pernah diberikan kepada Penggugat secara langsung hanya disampaikan melalui WA (whatSApp) staff/pegawai honor di Kantor Sinode (jauh dari nilai-nilai kepatutan dan etika kelembagaan).
Sepuluh, dikarenakan Penggugat masuk kategori Pelayan Khusus dengan Jabatan Ketua III Sinode, maka penjatuhan sanksi Tertib Gerejawi oleh Tergugat tersebut adalah melampaui batas kewenangan Tergugat, Majelis Sinode tidak dapat memberikan sanksi terhadap rekan Majelis Sinode lainnya terkecuali atas perintah Persidangan Sinode, yang berhak memberikan sanksi adalah Sidang Sinode (vide, Tata Gereja/Tata Rumah Tangga/Peraturan Tentang Sinode BAB IV Tentang Majelis Sinode, Pasal 18 ayat (1) dan (2) Tugas dan Wewenang).
Sebelas, penjatuhan sanksi Tertib Gerejawi tersebut sangat tidak beretika dan tidak masuk akal karena disamping tidak ada bukti yang sahih atas pelanggaran yang Penggugat lakukan juga penjatuhan sanksi tersebut tidak melalui prosedur sebagaimana yang terdapat dalam Tata Gereja, juga sanksi yang diberikan tidak melewati tahapan sanksi yang ada dalam Tata Gereja/Tata Rumah Tangga/Peraturan Tentang Pelayanan Penggembalaan, sebagaimana yang dimasud dalam Pasal 14 ayat (2) BAB VI Tertib Gerejawi, yang berbunyi :
“Adapun bentuk-bentuk tertib gereja seperti berikut :2.1. Untuk suatu jangka waktu tertentu tidak diperkenankan mengikuti Perjamuan Kudus. 2.2. Tidak diperkenankan menjalankan tugas pelayanannnya untuk suatu jangka tertentu. 2.3. Diberhentikan sebagai Pelayan Khusus/Pegawai Tetap gereja untuk suatu jangka waktu tertentu beserta dengan segala pembayarannya yang berhubungan dengan pekerjaannya.2.4. Dikeluarkan dari daftar anggota Majelis Jemaat. 2.5. Bagi Jemaat dikeluarkan dari Persekutuan Gereja.
Duabelas, Tergugat langsung memberikan sanksi Tertib gerejawi pada Penggugat sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 14 ayat (2.3) tersebut tanpa melewati tahapan sanksi tertib gereja yang ada dalam Pasal 14 ayat (2) tersebut, hal ini memperlihatkan Arogansi dan Tindakan semena-mena dari Tergugat yang sengaja mau menyingkirkan Penggugat dari kepemimpinan GPID dan agar tidak dapat dipilih Kembali dalam periode berikutnya, hal ini juga dapat dilihat dari penjatuhan sanksi ini tidak melalui prosedur yang ditetapkan oleh Tata Gereja {vide, Pasal 14 ayat (1)} yang berbunyi :
“ Bagi anggota-anggota jemaat, pelayan-pelayan khusus dan pegawai tetap dan jemaat yang telah digembalakan, diteliti, dikunjungi, dinasehati dan diberikan teguran, akan tetapi terus menerus mengikuti cara hidup yang tidak benar dan tidak ada perubahan, mengganggu kehidupan gereja, tidak memperhatikan semua pelayanan dan keutuhan Pelayanan Gereja, maka kepada mereka dapat dikenakan Tertib Gereja.”
Tigabelas, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) BAB VI Tertib Gerejawi tersebut pada poin 12 diatas sangat jelas, sebelum Menjatuhkan Tertib Gereja harus Terlebih dahulu dilakukan Penggembalaan atau Digembalakan, kemudian Diteliti, kemudian Dinasehati dan kemudian diberikan Teguran, dan apabila tidak ada perubahan dan mengganggu kehidupan gereja serta tidak memperhatikan semua pelayanan dan keutuhan Pelayanan Gereja maka barulah dapat dikenakan Sanksi Gereja (menyangkut prosedur/tata cara pemberian sanksi); Pasal 14 ayat (1) ini haruslah terpenuhi semuanya baru dapat menjatuhkan sanksi kepada Penggugat sebagai Pelayan Khusus.
Empatbelas, oleh karena Penggugat tidak pernah digembalakan, diteliti, dinasehati dan apalagi ditegur, dan lain sebagainya maka demi hukum dalam Tata Gereja pemberian sanksi/hukuman berupa Pemberhentian sementara sebagaimana yang dimaksud dalam poin 9 diatas adalah perbuatan yang bertentangan dengan hukum dalam Tata Gereja karena itu perbuatan Tergugat tersebut haruslah dinyatakan perbuatan yang melanggar hukum/aturan dalam Tata Gereja.
Limabelas, seandainyapun jika Penggugat bersalah, pemberian/penjatuhan sanksi harus melalui mekanisme dan/atau prosedur sebagaimana yang terdapat dalam Tata Gereja bukan seenaknya sendiri atau semau-maunya sendiri menjatuhkan sanksi, pada saat sanksi akan diberikan ada mekanisme/prosedur yang dilewati/dipenuhi demikian pula setelah sanksi diberikan ada juga mekanisme/prosedur yang harus dipenuhi dan apabila ingin memperpanjang sanksi yang diberikan juga harus ada mekanisme/prosedur yang harus dipenuhi sebagai syarat dapat dilakukannya pemberian sanksi ataupun perpanjangan sanksi bahkan pemberhentian/pemecatan sekalipun harus ada prosedur/syarat-syarat yang harus dipenuhi bukan seenaknya saja (eigenrichting/main hakim sendiri) apalagi sebagai Lembaga Gerejawi sedangkan di Lembaga Sekuler saja orang yang bersalah tidak langsung dijatuhi hukuman namun ada proses dan mekanisme yang harus dipenuhi untuk tetap pada penghargaan dan penghormatan serta perlindungan harkat dan martabatnya.
Ini adalah wujud dari sikap negara yang menghargai Hak Asasi Manusia (HAM) karena itu sangat disayangkan jika dalam Lembaga Gerejawi sama sekali tidak menghargai harkat dan martabat dan/atau Hak Asasi Manusia, karena itu Penggugat menilai pemberian sanksi kepada Penggugat adalah upaya untuk menjatuhkan dan/atau menghalangi Penggugat agar tidak dapat dipilih Kembali diperiode 2023-2028 sebagai Majelis Sinode ataupun sebagai Ketua III Sinode.
Enambelas, apabila Penggugat diberikan sanksi seharusnya Penggugat diberikan kesempatan untuk menjelaskan (membela diri) vide, Tata Gereja, Tertib Gerejawi BAB VI Pasal 14 ayat (4) angka 2 dan apabila sanksi Penggugat diperpanjang semestinya apa penjelasan atau alasan mengapa diperpanjang dan apabila Penggugat dianggap berhenti lalu dinyatakan berhenti semestinya dilaporkan pada Sidang Tahunan di Masi pada 17 sampai dengan 20 Juli 2022 di Jemaat Efrata Masi, untuk dibahas dalam Persidangan Sinode, karena yang memilih dan mengangkat Penggugat adalah Persidangan Sinode bukan Majelis Sinode/Tergugat.
Tujuhbelas, berdasarkan pada poin 9 sampai dengan poin 16 di atas sangat jelas tindakan Tergugat telah bertentangan dengan Tata Gereja sebagai aturan yang berlaku dalam GPID (Gereja Protestan Indonesia Donggala), Tindakan semena-mena dan sangat arogan tersebut telah menimbulkan pencederaan dan perusakkan harkat dan martabat serta nama baik Penggugat.
Delapanbelas, persoalan tersebut telah Penggugat sampaikan ke Badan Pertimbangan (BP) Sinode, yang sebagai Alat kelengkapan Gereja yang bertugas memberikan nasehat dan pertimbangan-pertimbangan kepada Sinode, diminta atau tidak diminta, namun ternyata Badan Pertimbangan tidak dapat berbuat apa-apa, padahal dalam pertemuan Penggugat dengan Badan Pertimbangan (BP) mengakui dan mengatakan tindakan Majelis Sinode tidak sesuai prosedur Tata Gereja.
Bahwa ketidak berdayaan Badan Pertimbagan (BP) Sinode dapat dimaklumi, karena memang Badan Pertimbagan (BP) tidak mempunyai kewenangan membatalkan putusan Tergugat dan juga kedudukan Penggugat sebagai Ketua III Sinode dipilih dan ditetapkan di Sidang Sinode Am, oleh karenanya apabila mau menjatuhkan sanksi/hukuman seharusnya diberikan kepada Sidang Sinode yang memutuskan BUKAN sesama rekan Majelis Sinode.
Sembilanbelas, kemudian pada 17 Oktober 2022 Tergugat (Majelis Sinode) memanggil Penggugat dengan meminta untuk Kembali menjalankan tugas-tugas selaku Ketua III, dan meminta agar segera menjalankan Projek PRB (Pengurangan Resiko Bencana), namun beberapa hari kemudian tanpa sepengatahuan Penggugat Projek PRB (Pengurangan Resiko Bencana), yang ada dalam job discreption Penggugat dijalankan oleh orang lain tanpa sepengetahuan Penggugat padahal Projek PRB adalah hasil dari Proposal yang Penggugat buat ke owners (EMS Jerman) dan Penanggung Jawab Proyek tersebut dalam proposal adalah Penggugat, Dan hal ini Penggugat mempertanyakannya kepada Tergugat lewat Ketua Umum dan mengatakan alasannya Tergugat (Majelis Sinode) karena Penggugat masih terkena siasat gerejawi/sanksi Tertib gerejawi sehingga belum bisa mengerjakannya.
Duapuluh, sangat tidak masuk akal jawaban Tergugat lewat Ketua Umum Sinode tersebut karena apabila Penggugat terkena sanksi seharusnya ada Surat Tertib Gerejawi yang sudah diberikan pada Penggugat setelah habis masa sanksi sebelumnya yaitu tgl 5 Oktober 2022 atau paling tidak seharusnya disampaikan pada saat rapat tanggal 17 Oktober 2022 tersebut (waktu memanggil Penggugat), karena itu Penggugat menilai ada yang tidak benar dalam tubuh Ke-Majelisan Sinode, karena dalam projek PRB sebelumnya Penggugat menolak adanya potongan-potongan dana dalam projek PRB (Penggurangan Resiko Bencana) yang sampai terjadi keributan dalam rapat Majelis Sinode, antara Penggugat dengan Bendahara Umum yang mengatakan bahwa potongan-potongan selain potongan Kas adalah bukan keinginannya melainkan keinginan rekan lainnya agar dapat dibagi-bagikan.
Duapuluh satu, sampai dengan diajukannya gugatan ini tidak ada kejelasan atas sanksi tertib gerejawi dan pengambil alihan projek PRB (Pengurangan Resiko Bencana) yang dilakukan oleh Tergugat (Majelis Sinode) dan sampai dengan ini pula Surat penjatuhan sanksi Tertib Gerejawi Tidak pernah Penggugat terima, baik yang menjatuhkan sanksi pertama yaitu tanggal 5 Juli 2022 ataupun Surat Sanksi ke-dua atau perpanjangan sebagaimana yang disampaikan Tergugat lewat Ketua Umum Sinode.
Duapuluh dua, oleh karena Tindakan Tergugat (Pimpinan Sinode/Majelis Sinode) GPID dalam menjatuhkan Sanksi kepada Penggugat Tidak sesuai dengan aturan yang terdapat dalam Tata Gereja, khususnya dalam Tata Rumah Tangga BAB VI Tentang Tertib Gerejawi Pasal 14 ayat (1), (2) dan ayat (4) angka 2, maka Tindakan Majelis Sinode ini dapat dikategorikan tindakan yang melanggar Tata Gereja GPID dan oleh karena GPID sebagai Badan Hukum yang berdiri di Negara Republik Indonesia ini, maka juga harus tunduk pada Hukum maupun Etika dan kelaziman yang ada di Negera Republik Indonesia ini, dan oleh karena persoalan yang dimaksud sudah tidak dapat diselesaikan dalam organisasi GPID sendiri atas perbuatan semena-mena oleh Tergugat terhadap Penggugat selaku Ketua III Sinode, maka dengan ini memohon agar persoalan ini dapat diselesaikan melalui Pengadilan yang ada di Negara Republik Indonesia ini, jika dalam hukum perbuatan yang melanggar hukum adalah perbuatan yang juga melawan hukum, olehnya Ketika Tergugat sudah menjatuhkan Sanksi kepada Penggugat tanpa melalui prosedur sebagaimana yang termuat dalam Peraturan Tata Gereja (yg sebagai hukum di GPID), maka demi hukum perbuatan Tergugat tersebut dapatlah pula dikategorikan sebagai perbuatan On-recht matig daad (Perbuatan Melawan hukum atau Melanggar Hukum).
Duapuluh tiga, apabila Tergugat memahami Roh dari Tata Gereja dan berlaku arif dan bijaksana seharusnya Tergugat tidak dapat menjatuhkan sanksi kepada Penggugat yang Nota Bene sama-sama sebagai Pimpinan Sinode, dimana seharusnya jika Penggugat melakukan kesalahan harus dimintakan/diajukan ke Sidang Sinode sebagai Pengambil Keputusan Tertinggi (Bukan Majelis Sinode) karena Penggugat dipilih dalam Sidang Sinode Am, bukan dipilih oleh rekan-rekan Majelis Sinode lainnya, sebab jika sesame rekan Majelis Sinode dapat memberikan sanksi kepada rekan yang lainnya, maka bukan tidak mungkin jika ada rekan Majelis Sinode yang tidak disukai atau menjadi penghambat atas keinginan-keinginan terselubung dari rekan majelis sinode lainnya maka dapatlah rekan Majelis Sinode bersekongkol untuk menjatuhkannya, apalagi jika ada kesempatan yang dijadikan pemicu penjatuhan tersebut (seperti yang dialami Pengugat), maka persekongkolan itu sangat dimungkinkan.
Duapuluh empat, perbuatan Tergugat yang semena-mena dan/atau melawan hukum Tata Gereja tersebut (unprosedur dan tidak beretika serta semena-mena) sebagaimana terdapat dalam poin 9, poin 10, poin 11, poin 12, poin 13, poin 14 dan poin 15 serta poin 16 diatas telah mencideraian dan merusak harkat dan martabat serta nama baik Penggugat menimbulkan kerugian pada Penggugat baik kerugian Materil maupun kerugian Immateril.
Duapuluh lima, adapun kerugian materil yang ditimbulkan akibat perbuatan Tergugat adalah sebesar Rp 52,5 juta.
Duapuluh enam, adapun kerugian immateril yang diderita oleh Penggugat adalah tidak dapat dinilai harganya, tetapi walaupun demikian agar tuntutan tetap jelas dan terang sebagaimana yang diharuskan oleh hukum, maka atas perbuatan ditambah tunjangan biaya perawatan perumahan satu tahun Rp 1 juta (atau menyesuaikan pada kondisi keuangan Sinode) dikalikan 2 tahun (tahun 2022 dan 2023), total Rp 2 juta.
Menghukum Tergugat untuk membayar secara sekaligus dan seketika juga kerugian Immateriil yang diderita oleh Penggugat.