Hadapi PT HIP, Petani Plasma Buol Minta Advokasi Walhi Sulteng

Uncategorized681 Dilihat

PALU, PIJARSULTENG.COM,– Tiga perwakilan petani Buol yang tergabung dalam Forum Petani Plasma Buol (FPPB), Rabu 22 Februari 2023, mendatangi Walhi Sulteng. Mereka mengadukan kondisi yang mereka selama belasan tahun tidak mendapat hak-haknya sebagai petani dalam relasi berbasis kemitraan antara petani plasma dengan PT Hardaya Inti Plantation (PT HIP). Ketiganya adalah Mada Yunus, Japardin dan Fatrisia. Usai melaporkan situasi petani Buol kepada Walhi Sulteng yang diterima Direktur Walhi Sulteng, Sunardi Katili, FPPB menggelar konferensi pers.

Fatrisia membeberkan, belasa tahun sejak kehadiran PT Hardaya Inti Plantations (HIP, mereka belum mendapat hak-hak yang memadai baik seperti yang dijanjikan sejak perusahaan tersebut masuk di Kabupaten Buol. Kondisi yang mereka alami bahkan sudah dilaporkan ke Komnas HAM Sulteng.

Ada 6 (enam) tuntutan yang disampaikan pada keterangan pers yang berlangsung di Sekretariat Walhi Sulteng di Palu, pada 22 Februari 2023 tersebut. Tuntutan itu antara lain, menuntut hak dan kepentingan para petani plasma dan petani sawit perseorangan di Kabupaten Buol. Menuntut bagi hasil yang adil bagi para petani plasma yang bermitra dengan perkebunan besar. Kemudian menuntut harga Tandan Buah Segar (TBS) yang baik bagi para petani sawit serta penurunan peribaan yang mencekik para petani sawit. FPPB menentang monopoli input pertanian (bibit, pupuk, obat-obatan dan peralatan pertanian) yang diimpor dengan harga mahal dan menentang ekspor hasil pertanian khususnya sawit oleh kekuatan monopoli asing dengan harga sangat murah. Terakhir mereka ingin gerakan gotong-royong untuk mengurangi biaya produksi dan memenuhi kebutuhan pokok petani, serta mempromosikan gerakan menabung di kaum tani.

Fatrisia yang didampingi dua rekannya, Walhi Sulteng dan aktivis agraria Sulteng mengatakan, pada 2021 Prakarsa memublikasikan hasil riset di Sulawesi Tengah. Hasilnya, data luas area sawit petani pada 2018 di Kabupaten Buol adalah 7.915 hektar. Melibatkan 3.701 keluarga petani dengan tingkat pendapatan rata-rata Rp 557.057, perbulan. Ini katanya jauh dibawah upah minum regional Sulawesi Tengah pada tahun 2018 yaitu sebesar 1,9 juta perbulan/orang.

Lebih jauh dikatannya, PT HIP membangun kebun plasma seluas 4.578,03 hektar dengan melibatkan ribuan keluarga petani yang terhimpun dalam 7 (tujuh) koperasi. Yakni Koptan Amanah, Koptan Awal Baru, Koptan Plasa, Koptan Bersama, Koptan Piyonoto, Koptan Fisabililah, Koptan Idaman dan kami yang tergabung dalam FPBB merupakan petani peserta plasma di dalam koperasi-koperasi tersebut.

Seluruh kebun plasma katanya dibangun di atas tanah-tanah milik masyarakat, baik masyarakat lokal maupun masyarakat transmigrasi. Tidak ada sejengkalpun kebun plasma dibangun di atas lahan Hak Guna Usaha (HGU) PT HIP. ”Sedangkan kami sebagai pemilik lahan tidak mendapat bagi hasil dari kebun plasma, justru jeratan hutang yang terus menumpuk dari waktu ke waktu dibebankan PT.HIP terhadap petani. Kami tidak lagi memiliki hak atas tanah-tanah kami, seluruhnya dikontrol dan dikuasi sepihak oleh PT. HIP, kami hanya bisa menyaksikan kendaraan berlalu lalang mengangkut TBS hasil kebun plasma hingga ratusan ton setiap hari,” beberanya.

Seharusnya PT HIP membangunkan kebun plasma untuk masyarakat 20% dari luas HGU yang dimilikinya, sebagaimana peraturan yang ada diantaranya: Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 Tahun 2007, pasal 11 ayat 1 yang berbunyi “Perusahaan perkebunan yang memiliki izin usaha perkebunan (IUP) atau Izin usaha perkebunan untuk budidaya (IUP-B) wajib membangun kebun untuk masyarakat sekitar, paling rendah seluas 20 persen dari total luas areal kebun yang diusahakan.

JERAT UTANG MENJADI ANCAMAN PETANI

Masih menurut Fatrisia, saat ini ada utang yang harus ditanggung petani dan tidak diketahui sumbernya yang dibebankan oleh PT HIP. Jumlah nilai utang dinilainya tidak masuk akal. Bahkan melebihi dari nilai aset lahan mereka sebgai petani plasma. Menurutnya, tanpa ada penjelasan dan bukti-bukti yang dapat dipertanggung jawabkan, pada 22 Oktober 2020, PT HIP mengeluarkan surat internal atas nama Eric ditujukan kepada Mrs Poo menyampaikan pinjaman 7 (tujuh) koperasi plasma sebesar Rp 1 triliun lebih. Namun pada tanggal 24 Desember 2020 Sdr. Eric kembali mengeluarkan surat untuk Mrs Poo, menyampaikan total pinjaman 7 (tujuh) koperasi berubah, turun menjadi Rp 500 miliar lebih.

Besaran utang setiap koperasi plasma katanya berbeda – beda. Misalnya, petani plasma yang tergabung dalam koptan Amanah memiliki pinjaman pada 22 Oktober 2020 sebesar Rp364 miliar lebih. Dan berubah lagi pada 24 Desember 2020 menjadi Rp142 miliar lebih. Sedangkan petani yang tergabung dalam koptan Awal Baru dibebani utang/pinjaman oleh pihak perusahaan pada 22 Oktober 2020 sebesar Rp120 miliar lebih. Namun pada 24 Desember 2020 turun menjadi Rp108 miliar lebih.

Lebih jauh ia mengatakan, pada perkembanganya, petani plasma Koptan Amanah mendapatkan notulensi hasil pertemuan antara pengurus koperasi Amanah dengan pihak PT Hardaya Inti Plantaions pada 19 Maret 2021 bertempat di ruang rapat JI EXPO laintai 5, Jakarta. Utang petani plasma Amanah sebesar Rp142 miliar dan sisa utang refinancing koptan Amanah dari Bank Mandiri sebesar Rp8 miliar lebih dari total utang pokok dan bunga sebesar Rp50 miliar lebih.

Demikian juga lanjut Fatrisia dengan Koptan Bukit Piyonoto diminta menandatangani utang sebesar Rp111 miliar pada 22 Oktober 2020. Kemudian diubah menjadi Rp100 miliar lebih pada 24 Desember 2020. ”Kami menyadari kedudukan kami hanyalah petani kecil dan tidak berpendidikan tinggi. Kami memiliki pengalaman masalah utang piutang dengan pihak Bank, kami juga memiliki pengalaman dalam mengelola kebun sawit perseorangan meskipun skala kecil dan terbatas, ini tidak masuk akal,” katanya.

Pihaknya juga tidak pernah menerima uang dari utang sebesar itu. Mereka hanya menerima rata-rata kurang lebih Rp52.000 perbulan per hektar. Jika benar ada utang sebesar itu, patut untuk dipertanyakan untuk apa atau untuk siapa uang tersebut. ”Semua ini membuat kami heran dan kami ragukan kebenarannya,” katanya. Fatrisia menyambung, berdasarkan perjanjian kerjasama antara koptan Amanah dan PT HIP yang ditandatangani pada 5 November 2007, hutang petani koptan Amanah sebesar Rp.25 miliar lebih dan bunga masa pembangunan kebun sebesar Rp11 miliar lebih. Utang tersebut untuk membangun kebun plasma seluas 1.000 hektar.

Menurut dia, pemerintah harus ambil bagian dalam penyelesaian kasus ini. Salah satu yang saat ini menjadi harapan adalah dengan dibentuknya Panitia Khusus (PANSUS) DPRD Kabupaten Buol untuk menyelesaikan masalah plasma HIP. Ini adalah buah dari perjuangan mereka pada September 2022. Mereka berharap Pansus DPRD Buol bisa memberi titik terang pada nasib yang mereka alami.

Forum Petani Plasma Buol (FPPB) ujar Fatrisia sebagai respons situasi yang mereka alami. Di dalamnya, beranggotakan para petani plasma dan petani sawit perseorangan. FPPB dibentuk pada 22 September 2022, bersamaan dengan diselenggarakanya workshop Petani Plasma Kabupaten Buol – Merajut Asa di plasma Hardaya. Dihadiri oleh perwakilan petani plasma dari berbagai desa yang tergabung dalam berbagai koperasi tani plasma (koptap). Pendirian FPPB ditujukan sebagai tempat berhimpun, tempat belajar dan sekaligus sebagai payung perjuangan bagi para petani plasma secara khusus, dan petani sawit di Kabupaten Buol pada umumnya. SAH

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed